Hukum
Perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, dengan kata lain perjanjian
merupakan perbuatan hukum untuk mendapatkan seperangkat hak dan kewajiban dengan
pihak lain beserta segala konsekuensinya.
Standar Kontrak
Standar
kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam
bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu
pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Biasa juga
disebut sebagai perjanjian baku. Standar Kontrak memiliki ciri-ciri sbb:
- Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang berposisi (ekonomi) kuat
- Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menetukan isi perjanjian
- Terbentur oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu
- Bentuk tertentu (tertulis)
- Dipersiapkan secara massal dan kolektif
Macam-macam
Perjanjian
1.Perjanjian bernama, yaitu merupakan
perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini,
misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2.Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur
dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri
perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak,
berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.
3. Perjanjian Jual-beli
Pengaturan tentang Jual beli sebagai perjanjian didapat pada Bab kelima, yang
pada Pasal 1457 KUHPerdata diartikan sebagai suatu persetujuan, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Sedangkan menurut
Subekti, yang dimaksud dengan Perjanjian Jual Beli adalah suatu perjanjian
bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli)
berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan
dari perolehan hak milik tersebut.
4.Perjanjian
Tukar Menukar
Pasal 1541
KUHPerdata menyatakan bahwa tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana
kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang
secara bertibal balik, sebagai gantinya barang lain.
Sebagaimana dengan perjanjian jual
beli, perjanjian ini juga bersifat konsensual dan sudah mengikat pada saat
tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Dan juga bersifat ”obligatoir”,
dalam arti ia belum memindahkan hak milik, tetapi baru sebatas memberikan hak
dan kewajiban. Pada saat terjadinya levering lah baru secara yuridis, ham milik
berpindah.
Objek tukar menukar, dalam
KUHPerdata adalah semua yang dapat diperjual belikan, maka dapat menjadi objek
tukar menukar. Terhadap hal ini juga dalam KUH Perdata menyatakan bahwa semua
pengaturan tentang jual beli juga berlaku untuk perjanjian tukar menukar.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1545
KUHPerdata mengatur tentang resiko yangberbunyi ”Jika suatu barang tertentu
yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka
persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi
persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar
menukar”.
5.Perjanjian Sewa-Menyewa
Ketentuan KUH Perdata yang mengatur
tentang sewa menyewa dapat dilihat pada Pasal 1548 yang berbunyi:
”Sewa menyewa adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan
kepada yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan
dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yanag tersebut terakhir itu
disanggupi pembayarannya”.
Sebagaimana halnya dengan perjanjian
lainnya, sewa menyewa adalah perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah
dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu
barang dan harga.
Penyerahan barang untuk dapat
dinikmati oleh pihak penyewa diberikan oleh yang menyewakan, dengan mana
kewajiban penyewa adalah untuk membayar harga. Penyerahan barang hanyalah untuk
dipakai dan dinikmati.
7.Perjanjian
Persekutuan
Persekutuan menurut Syahmin AK
(2006:59) adalah merupakan bentuk perjanjian yang paling sederhana dalam tujuan
untuk mendapatkan keuntungan bersama. Dalam pelaksanaannya, pada persekutuan akan
terdapat beberapa perjanjian lainnya yaitu perjanjian kerja, perjanjian batas
waktu persekutuan, perjanjian sekutu dengan pihak ketiga, perjanjian pembagian
keuntungan, serta perjanjian – perjanjian lainnya.
Perjanjian
persekutuan berbeda dengan perjanjian-perjanjian lainnya yang juga bertujuan
untuk mencari keuntungan bersama seperti Firma, maupun Perseroan Terbatas,
dikarenakan dalam persekutuan perjanjian hanya lah antara para pihak yang
mengikatkan dirinya dan tidak mempunyai pengaruh ke luar kepada pihak yang
lain. Begitu juga sebalikna, pihak ketiga tidak mempunyai kepentingan
bagaimana diaturnya kerjasama dalam persekutuan itu, karena para sekutu
bertanggungjawab secara pribadi atau perseorangan tentang hutang-hutang yang
mereka buat.
Tentang pembagian keuntungan maupun
bentuknya modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu adalah tidak
ditentukan oleh Undang-undang, untuknya semua diserahkan kepada mereka
sendirinya untuk mengatur nya di dalam perjanjian persekutuannya.
8.Perjanjian
Perkumpulan
Perjanjian Perkumpulan menurut
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bertujuan untuk mencapai tujuan
tertentu dengan tidak mencari keuntungan tertentu, dalam hal mana kerja sama
ini disusun dengan bentuk dan cara sebagaimana yang diatur dalam “anggaran
dasar” ataupun “statuten” nya.
Syarat Sahnya
Perjanjian
1.Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
·
Unsur
paksaan (dwang)
·
Unsur
kekeliruan (dwaling). Baik kekeliruan pada subjek hukum (orang) maupun
pada objek hukum (barang).
- Unsur penipuan (bedrog)
2.Kecakapan.untuk membuat suatu perikatan.
Seseorang dikatakan tidak cakap jika meliputi:
- Orang –orang yang belum dewasa
- Mereka yang ditaruh dibawah pengampua
- Mereka yang telah dinyatakan pailit
- Orang yang hilang ingatan
3.Suatu hal tertentu
4.Suatu sebab yang halal (causa yang halal)
Saat Lahirnya
Perjanjian
Menurut
teori penerimaan (Ontvangtheorie) lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya
jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka.
Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat
itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya perjanjian, lahir karena
suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan
subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan
pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik
yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati
oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama.
Pembatalan dan pelaksanaan suatu
perjanjian
Pengertian
pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu
pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya
wanprestasi dari debitur.
Pembatalan
dapat dilakukan dengan tiga syarat, yakni:
- Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
- Harus ada wanprestasi (breach of contract)
- Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan
Perjanjian
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan
kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu
mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal
pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian.
Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin
pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya
penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
- Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
- Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
- Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
- Media pembayaran yang digunakan
- Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan
Barang
Yang
dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu
barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain
ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang
atau lavering adalah sebagai berikut:
- Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
- Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
- Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
- Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Penafsiran
dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam
suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati.
Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga
tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan
memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain
(pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam
pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai
berikut:
- Maksud pihak- pihak
- Memungkinkan janji itu dilaksanakan
- Kebiasaan setempat
- Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
- Penjelasan dengan menyebutkan contoh
- Tafsiran berdasarkan akal sehat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar